v Manusia
Menurut Bath dalam Reja (1975:14) tentang teori manusia bahwa “manusia pada saat dilahirkan berada dalam tahapan perkembangannya yang bukannya lebih, melainkan kurang dari hewan”. Menurut Meitzshe dalam Reja (1975:15) “manusia adalah hewan yang belum ditetapkan”. Menurut Majid Noor (1981:21) secara pendekatan filsafat manusia terdiri dari badan dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh. Jadi pengetahuan tentang hakikat manusia harus menjadi dasar pokok untuk memahami mengapa manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan bagi manusia menjadi penting sebagai upaya untuk melakukan proses yang terencana dan berkesinambungan sebagai dasar untuk mengembangkan potensi dan hakikat kemanusiaanya. Hal ini juga di dasari pada pengertian pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik untuk menuju kepada kesempurnaan atau memanusiakan manusia.
Ada 3 aliran pemikiran:
1. Aliran materalisme yaitu aliran yang memandang bahwa yang penting adalah badan manusia, jiwa hanya masalah yang kurang penting, jiwa hanya membonceng saja dalam tubuh. Menurut Feurbach dalam Majid Noor (1981:22) berpendapar bahwa dibalik manusia tidak ada makhluk lain yang misterius yang disebut jiwa.
2. Aliran spritualisme memandang bahwa yang penting adalah jiwa. Tokohnya antara lain Plato yang berpendapat bahwa jiwa lebih agung dari pada badan, jiwa telah ada di alam atas sebelum masuk kedalam badan.
3. Aliran dualisme menganggap bahwa badan dan jiwa sama pentingnya. Tokohnya Rene Descartes dalam Majid Noor (1981:24) jiwa adalah substansi yang berfikir dan badan adalah substansi yang berkeleluasaan. Dualisme terbagi atas paralelisme (badan sejajar kedudukannya dengan jiwa) dan monoisme (antara badan dan jiwa telah terjadi perpaduan sehingga manunggal).
Ada 2 sisi yang bisa kita lihat dari ciri-ciri manusia :
A. Wujud Sifat Hakikat Manusia
Dikemukakan oleh paham eksistensialisme:
1. Sifat hakikat manusia adalah kemampuan menyadari diri bahwa manusia menyadari dirinya memiliki ciri yang khas atau karakteristik diri.
2. Kemampuan untuk bereksistensi. Kemampuan menempatkan diri, dapat menembus kesana ke masa depan atau masa lampau.
3. Kata hati (Gewetwn of man). Disebut juga dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dll.
4. Moral. Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka moral (etika) adalah perbuatan itu sendiri.
5. Tanggungjawab. Adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja (suyadi 1985).
6. Rasa kebebasan. Adalah rasa bebas tetapi yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
7. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak.
8. Kemampuan menghayati kebahagiaan.
B. Kodrat, Harkat dan Martabat Manusia
Berdasarkan pengertian pendidikan sebagai upaya mendewasakan manusia atau memanusiakan manusia, maka dapat dipahami bahwa Kodrat manusia sebagai keseluruhan sifat-sifat asli, kemampuan-kemampuan atau bakat-bakat alami, kekuasaan, bekal disposisi yang melekat pada kebaradaan/eksistensi manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial ciptaan Tuhan YME dapat dikembangkan secara terencana dan berkesinambungan melalui proses peniddikan. Harkat manusia adalah nilai manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kemampuan-kemampuan yang disebut cipta, rasa dan karsa. Derajat manusia adalah tingkat kedudukan atau martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki bakat, kodrat, kebebasan hak, dan kewajiban asasi.
v Kebudayaan
· PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Kata kebudayaan berasal dari kata budh—> budhi—> budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan yang berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsure rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsure jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia (supartono, 2001; Prasetya, 1998).
Mengenai definisi kebudayaan telah banyak sarjana-sarjana ilmu sosial yang mencoba menerangkan dari sudut pandangnya masing-masing. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn menyatakan bahwa da sekitar 179 definisi tentang kebudayaan. Oleh karena itu pemilihan definisi kebudayaan yang tepat sangat sukar.
Sehubungan dengan hal itu maka akan dicoba memaparkan beberapa definisi kebudayaan, yaitu :
A. E.B Tylor, menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, adapt istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang mempelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
B. R. Linton, menyatakan bahwa kebudayaan adalah merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil dari tingkah laku itu yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
C. Herkovits, menytakan bahwa kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
D. Krober dan Kluckhohn, menyatakan bahwa kebudayaan adalah pola, eksplisit dan implicit, tentang untuik perilaku yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol, yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya.
E. Ki Hajar Dewantara, menyatakan bahwa kebudayaan adalah buah dari manusia, yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, alam danh jaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di alam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya besipat tertib dan damai.
F. Soedjatmoko, mengemukakan kebudayaan adalah penjelmaan manusia dalam penghadapannya dengan lingkungan alam dan sosialnya dengan ruang dimana ia hidup dan dalam penghadapannya dengan waktu, peluang dan pilihan, kesinambungan dan perubahan, serta sejarah (Soedjatmoko 1985)
G. Koentjaraningrat, menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakanya dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya (Supartono, 2001; Keesing, 1992).
Dari penjelasan definisi kebudayaan yang telah kita baca tersebut, tampaknya kebanyakan definisi dan pemakaiannya telah mengaburkan perbedaan penting antara kebudayaan sebagai pola untuk perilaku dengan pola dari perilaku.
Dan definisi-definisi kebudayaan yang terdapat di atas dapat dinyatakan bahwa inti pengertian kebudayaan mengandung beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut :
A. Kebudayaan itu beraneka ragam.
B. Kebudayaan itu diteruskan melalui proses belajar.
C. Kebudayaan itu terjabarkan dari komponen biologi, psikologi, sosiologi, dan eksistensi manusia.
D. Kebudayaan itu berstruktur.
E. Kebudayaan itu terbagi dalam aspek-aspek.
F. Kebudayaan itu dinamis.
G. Nilai-nilai dalam kebudayaan itu relatif (sadeli, dkk, 1985)
· Wujud-wujud dan unsur-unsur
1. Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat bahwa setiap kebudayaan memiliki wujud dan unsur kebudayaan. Menurutnya kebudayaan itu terdiri dari tiga wujud yaitu :
1. wujud sebagai suatu kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia, atau sistem budaya.
2. wujud sebagai kompleks aktivitas atau system sosial.
3. wujud sebagai benda atau kebudayaan fisik.
2. C. Kluckhohn
Menurut C. Kluckhohn dinyatakan bahwa setiap kebudayaan memiliki tujuh unsur kebudayaan universal,yaitu :
1. Sistem religi dan upacara keagamaan merupakan produk manusia sebagai homo religius.
2. Sistem organisasi kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius.
3. Sistem pengetahuan merupakan produk manusia sebagai homo sapiens.
4. Sistem mata pencaharian hidup yang merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus.
5. Sistem teknologi dan perlengkapan hidup manusia merupakan produk manusia sebagai homo faber.
6. Bahasa merupakan produk manusia sebagai homo languens.
7. Kesenian merupakan hasil dari manusia dalam keberadaannya sebagai homo esteticus.
Kebudayaan juga mengalami suatu perubahan, hal ini secara umum dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Proses perubahan kebudayaan dapat terjadi secara evolusi dan revolusi. Dalam perubahan kebudayaan tersebut diatas tidak jarang terjadi cultural lag, yaitu suatu keadaan masyarakat yang mengalami kesenjangan antara budaya material dengan budaya non material. Hal ini misalnya dapat dilihat dengan semakin jauhnya jarak antara kebudayaan ideal dengan kebudayaan real. Kesenjangan budaya yang berlarut-larut dapat menimbulkan berbagai masalah sosial atau kerawanan sosial, perilaku menyimpang, munculnya subculture dalam masyarakat (Horton, dan Hunt, 1991).
Sehubungan dengan hal itulah maka terus diupayakan adanya berbagai system pengendalian sosial, dengan nuansa sosiokultural atau kearifan local masyarakat setempat. Baik yang bersifat formal maupun nonformal, skala dan niskala (Mudana,2000). Hal itu terefleksikan dalam berbagai model manajemen konflik. Sehingga tujuan kehidupan masyarakat dapat diwujudkan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar