Selasa, 27 Desember 2011

Integrasi Rencana Aksi Masyarakat


Tema : Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat

Sungguh Indonesia adalah republik ancaman bencana, beragam ancaman dan bencana terjadi di negeri ini. Negeri zamrud katulistiwa ini ternyata menyimpan potensi luar biasa atas bencana. Negeri ”kolam susu” yang menjadi jalur jajaran gunungapi aktif, ring of fire. Negeri ini pun diapit oleh 3 lempeng bumi aktif; australia, eurasia dan pasifik. Secara geologis Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara pertemuan tiga lempeng besar, dua lempeng samudera meliputi Lempeng Hindia-Australia di sebelah selatan, dan Lempeng Pasifik di sebelah timur serta satu lempeng benua yaitu Lempeng Eurasia di sebelah utara, interaksi antara tiga lempeng ini disebut dengan istilah tektonik lempeng dimana lempeng akan saling bergerak menjauh dan mendekat dari satu lempeng terhadap lempeng yang lainnya. Pertemuan tiga lempeng aktif yang terjadi mengakibatkan Indonesia memiliki kondisi geologis dan geomorfologis yang komplek baik struktur geologi seperti patahan, rekahan dan perlipatan batuan, pegunungan, perbukitan, lembah, dan dataran, kondisi ini yang menjadikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi bencana alam seperti gempabumi, tsunami, longsor, banjir bandang, banjir, angin puting beliung, dll.

Sejak tahun 2004 Indonesia menduduki peringkat ke 7 di dunia sebagai negara yang terkena dampak bencana (UN ISDR, 2010). Dalam 5 tahun terakhir telah tercatat ada beberapa kejadian bencana besar yang terjadi di Indonesia, (1) bencana tsunami Aceh tahun 2004 mengakibatkan lebih dari 25.000 orang meninggal (2) gempa Yogjakarta  tahun 2006 tercatat lebih dari 5000 orang meningnggal, (3) bencana tsunami di pangandaran tahun 2007, (4) banjir besar di Jakarta tahun 2007 lebih dari 154.000 rumah terendam air selama lebih dari 7 hari, (5) gempabumi Sumatera Barat tahun 2009, (6) tsunami di kepulauan Mentawai tahun 2010, (7) banjir bandang di Kabupaten Wasior, Papua Barat tahun 2010, (8) bencana erupsi Gunungapi Merapi di Kabupaten Slemen, Yogyakarta dan Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang, Jawa Tengan tahun 2010 yang mengakibatkan 380 orang meninggal, ratusan rumah hilang akibat tersapu awan panas dan lebih dari 70.000 orang mengungsi ketempat yang aman, (9) bencana banjir bandang di Kabupaten Pidie, Aceh yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia dan puluhan rumah rusak berat.

Realitas bencana dan dampaknya tersebut memberikan dorongan yang kuat pada seluruh komponen bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana.  Pasca Tsunami Aceh 2004, diskursus yang konstruktif mengenai penanggulangan bencana berlangsung sangat cepat dan dinamis, baik pada tataran civil society, pemerintah dan lembaga perguruan tinggi. Perjalanan perubahan paradigma dimulai dari pandangan klasik yang menganggap bencana sebagai takdir semata. Manusia tidak memiliki peran dan kontribusi yang signifikan terkait dengan terjadinya bencana. Keterlibatan manusia hanya sebatas menerima tanpa syarat dan tidak mempertanyakan takdir musibah yang menimpah manusia. Kepasrahan dimaknai sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dibanding dengan pertanyaan kritis yang mempersoalkan pemaknaan “takdir” itu.  Pada aras tertentu, pandangan ini bergeser pada cara pandang yang lebih saintifik dan ilmiah. Bencana dilihat sebagai proses alamiah belaka. Ketika alam tidak mampu menahan beban pergerakan maka terjadilah kejadian yang luar biasa. Dalam konteks pandangan ini, peran manusia hanya sekedar menaggapi kejadian yang sudah terjadi dengan melakukan respon darurat. Pandangan alamiah seperti ini dalam perkembangannya dirasa tidak memberikan solusi bagi pengurangan dampak yang menimpa pada aset kehidupan dan penghidupan. Ditengah pencarian paradigm alternative yang bersifat komprehensif, muncul pendekatan baru dalam melihat bencana. Paradigm itu adalah cara pandang dalam mengelola bencana yang melihat secara utuh mulai sebab ancaman sampai dampak yang mungkin terjadi. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan pengurangan risiko bencana. Pendekatan ini melihat bencana sebagai bagian kewajaran, ketika elemen kerentanan bertemu dengan ancaman. Bencana tidak dilihat sebagai teguran apalagi takdir, pun demikian bencana tidak dilihat sebagai sebuah fenomena alamiah semata yang melupakan dampak yang ditimbulkan. Di Indonesia perubahan paradigma di tanggap darurat kearah paradigma pengurangan risiko bencana sangat nyata tertuang dalam undang-undang no. 24 tahun 2007. Penanggulangan bencana ditekankan pada aspek pengurangan risiko bencana, bukan hanya tanggap darurat. Manajemen pengurangan risiko bencana merupakan sistem perencanaan penanggulangan bencana yang dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini dan lain-lain dengan melibatkan seluruh stakeholder pemerintah, masyarakat, swasta. Prinsip partisipasi menjadi nilai utama. Pelibatan semua unsur terutama masyarakat dalam semua kegiatan pengurangan risiko bencana menjadi keniscayaan. Perubahan paradigma yang cukup baik ditingkat kebijakan dengan lahirnya regulasi yang mendukung manajemen pengurangan risiko bencana, diikuti oleh proses kelembagaan yang menopang kegiatan pengurangan risiko bencana.

Di dalam UU. No. 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana tersebut, pokok pengaturan  dan substansi kebijakan penanggulangan bencana secara jelas lebih terarah dan terpadu, dengan landasar manajemen penanggulangan bencana. Secara berurutan, regulasi itu berisi isi bab antara lain; status kebencananaan, badan penyelenggara (BNPB dan BPBD), tentang hak dan kewajiban masyarakat, peranan lembaga – lembaga non pemerintah (swasta dan NGO), penyelenggaraan penanggulangan bencana, pendanaan kegiatan Penangulangan bencana, pengawasan, dan penyelesaian sengketa atau konflik. Di antara substansi yang di atur di dalam bab tersebut diatas, bagian bab penyelenggaraan penanggulangan bencana dan hak masyarakat patut untuk mendapat perhatian yang kuat, karena substansi penaggulangan bencana di dalam UU. No 24/ 2007 ini telah merubah paradigma yang semula penanggulangan bencana hanya di level penanganan pada saat emergency atau yang populer disebut dengan tanggap darurat, ditransformasikan pada penanggulangan yang terarah, menyeluruh dan berbagai aspek. Diantaranya tercakup orientasi kebijakan penanggulangan bencana pada pra bencana, tanggap darurat dan masa rehabilitasi yang aturan pelaksana secara lebih lanjut diatur kemudian di dalam Peraturan Pemerintah. Itulah tiga fase yang perlu dipertimbangkan, agar kerangka substansi dan arah regulasi didalam peraturan daerah memperhatikan aspek tersebut.

Perubahan paradigma penanggulangan bencana yang sistematis dan terpadu, pada tataran implementasi teknis akan menampakkan hasil yang signifikan kalau diikuti oleh pola perencanaaan penganggaran dan pembangunan yang berspektif pada pengurangan risiko bencana. Pendekatan yang menekankan pentingnya perencanaan penganggaran dan pembangunan yang melihat sisi pengurangan risiko bencana partisipatif sebagai fokus dalam perencanaan. Perencanaan pembangunan dan penganggaran berbasis pengurangan risiko bencana akan memberikan keuntungan yang cukup signifikan bagi kelangsungan pembangunan, antara lain; memperpanjang usia infrastruktur, melindungi manusia sebagai penerima manfaat pembangunan, melindungi sumberdaya alam dan lainnya.  Pendekatan ini akan memiliki manfaat dengan nilai besar pada jangka panjang karena risiko yang terjadi semakin kecil. Selama ini, perencanaan anggaran dan pembangunan yang ada di daerah untuk urusan kebencananaan hanya sebatas dana tak terduga semata. Dana yang digunakan untuk kegiatan penanganan darurat semata pada saat terjadi bencana. Hal ini tentu tidak mampu menjawab perubahan paradigma baru yang bertumpu pada aspek pengurangan risiko bencana.  Berdasar pada latar diatas, maka menjadi keniscayaan untuk menyusun pola perencanaan penganggaran dan pembangunan yang partisipatif dan berperspektif pada pengurangan risiko bencana.

Diawali dari pemahaman konsep dasar penanggulangan bencana, melakukan analisis risiko dengan memetakan ancaman, kerentanan dan kapasitas, menyusun rencana aksi pengurangan risiko bencana. Setelah itu, peserta diajak untuk memahami kebijakan perencanaan penganggaran dan pembangunan,  struktur perencanaan pembangunan dan kemudian diimplementasikan ke dalam rencana aksi pengurangan risiko bencana dan melakukan integrasi rencana aksi pengurangan risiko bencana dalam kerangka perencanaan penganggaran dan pembangunan.

1 komentar:

  1. kalo partisipasi masyarakat terhadap ancaman integrasi apa?

    BalasHapus