Selasa, 27 Desember 2011

Tertindas di Tanah Sendiri, Tak Yakin Hidup Berubah

Tema : Warganegara dan Negara

MENJADI negara merdeka menjadi impian semua rakyat Palestina. Langkah pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas mengajukan status keanggotaan penuh di PBB pekan depan menjadi harapan rakyat Palestina yang sudah hidup di bawah pendudukan Israel selama 63 tahun.

Salah seorang warga Palestina, Mohammed Hassan al-Atrash, hanya tersenyum kecut saat ditanya tentang peluang disetujuinya usulan Abbas oleh Majelis Umum (MU) PBB. "Saya hanya orang yang sederhana," jawabnya sambil bersandar pada tongkat yang membantunya berjalan. "Saya tidak paham politik. Tetapi, berdasar pengalaman hidup saya, saya tidak yakin akan mendapatkan apapun. Apa yang tersisa setelah (pembangunan) permukiman (Yahudi), zona militer, dan dinding pemisah. Anda pikir bisa membangun negara hanya dengan beberapa desa yang terpencar?" ujarnya pesimistis.

"Jika PBB mau bertindak adil kepada Palestina, mereka harus menghentikan semua tindakan Israel. Bicara memang mudah. Tapi, yang terpenting adalah melihat kenyataan di lapangan," papar pria yang hidupnya menjadi bagian dari sejarah penderitaan rakyat Palestina sejak 63 tahun lalu itu.

Pernyataan Atrash tersebut cerminan dari pandangan sebagian rakyat Palestina. Ketika para pemimpin dunia sibuk melakukan langkah diplomasi untuk menghindari konflik kepentingan di New York, AS, pekan depan, rakyat Palestina justru makin akrab dengan kehidupan mereka yang kian terjajah. 

Pos penjagaan dan izin bepergian secara ketat, penggusuran, penyerobotan tanah, dan perlakuan kekerasan dari pemukim Yahudi. Itulah yang selama ini mereka alami. Karena itu, mMereka yakin bahwa pengambilan suara di PBB pada 23 September mendatang tidak akan menghentikan pendudukan Israel.

Kisah Atrash, 68, dan desa asalnya, al-Walaja, yang terletak di perbukitan antara kota kuno Jerusalem dan Bethlehem, merupakan sejarah kehidupan rakyat Palestina selama lebih dari enam dekade. Semua berawal saat desa tersebut dikuasai tentara Yahudi dari Brigade Palmach dalam perang menjelang deklarasi kemerdekaan Israel pada 1948. Ribuan warga desa mengungsi dan garis perbatasan negara tersebut ditarik melebar hingga menghilangkan 70 persen wilayah al-Walaja. 

Selama beberapa tahun, Atrash yang saat itu berusia lima tahun harus tinggal dalam goa bersama keluarganya. Dari lokasi tersebut, mereka masih bisa melihat rumah yang pernah ditinggali. Selanjutnya, mereka pindah ke rumah famili di bagian lain dari al-Walaja. Tanahnya gersang dan harus menyeberang bukit di Israel untuk mendapatkan air. 

Pada 1967, setelah perang enam hari usai, tentara Israel yang menang akhirnya menduduki wilayah Palestina yang tersisa. Pemerintah Israel pun merevisi garis batas wilayah Jerusalem dan setengah al-Walaja yang tersisa. Wilayah itu yang ditambahkan Israel sebagai ibu kota tak terpisahkan. 

Beberapa tahun kemudian, 1971, para pemukim Yahudi berdatangan. Alhasil, lebih banyak lagi desa yang dikuasai (Yahudi) hingga dibangun perkampungan Gilo dan Har Gilo. Wilayah tersebut ilegal sesuai hukum internasional.

Pada 1980, otoritas Jerusalem mengeluarkan perintah penggusuran bagi banyak rumah yang dibangun oleh warga desa. Mereka dianggap tidak punya izin sehingga rumah-rumah mereka harus dihancurkan.     

Saat ini buldozer dan peralatan pengeruk bekerja untuk membangun pondasi permukiman baru di tanah terakhir di wilayah desa itu. Di sana akan dibangun tembok pemisah. Jika sudah selesai, bangunan beton dan baja tinggi akan mengelilingi al-Walaja. Hanya akan tersisa satu pintu keluar dan masuk yang dikontrol oleh tentara Israel.

Setiap hari Atrash melihat tanah desanya berkurang dan hilang di tengah kerakusan para pemukim Israel dan mesin-mesin raksasa.

Di wilayah lain, al-Hadidiya, desa yang terletak di timur laut Tepi Barat, warga juga mengalami dan merasakan hal yang sama. Penduduk desa hanya bisa membangun tenda-tenda untuk ditinggali sementara. Warga juga yakin bahwa meski kelak para pemimpin Palestina berhasil mendapatkan status negara dan keanggotaan penuh dari PBB, kehidupan mereka tidak akan berubah. Yakni, tetap dijajah sekaligus terkurung oleh pendudukan Israel.

Meskipun menjadi bagian dari wilayah Tepi Barat, al- Hadidiya berada di dalam zona perbatasan yang diklaim Israel sebagai wilayah strategis. Tentara Israel berkali-kali menggusur dan menghancurkan permukiman penduduk. Itu berlangsung sejak 1997. Alasannya pun tetap tak berubah bahwa penduduk desa tak punya izin tinggal di wilayah itu. 

Saat ini tinggal 100 warga yang bertahan di wilayah tersebut. Itu berarti hanya seperempat dari jumlah mereka sekitar 14 tahun lalu. "Bertahan di sini adalah tujuan awal dan akhir kami di sini," ujar Abdul Rahum Bisharat, kepala desa al-Hadidiya yang mengenakan penutup kepala panjang hitam dan putih sebagai lambang perlawanan rakyat Palestina. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar